Tak Tahu Bahasa Jawa, Tidak Berarti Bukan Jawa
Sebagai anak rantau, tentulah hidup bersama dengan teman dari
berbagai macam daerah bukan hal yang asing lagi. Aku contohnya. Asal dari
Madiun kota yang terkenal dengan brem dan pecelnya. Pertama kali, menempuh
pendidikan jauh dari kota asal --Malang. Ya, tidaklah jauh dari Madiun
hanya membutuhkan waktu enam jam menggunakan bis. Berada di perbatasan Jawa
Tengah, kadang membuat masyarakat mengira bahwa Madiun adalah bagian dari
Provinsi Jawa Tengah bukan Provinsi Jawa Timur.
Bergaul dengan anak dari berbagai daerah jawa membuat ku mengenal
bahasa daerah yang beragam rupa. Sebagai orang jawa tentulah ada perbedaan
dalam menggunakan kosa kata dan cara logat bicara. Tidak berbeda dengan American
English dan British English, yang walaupun sama menggunakan bahasa inggris tapi
tetap berbeda dalam pelafalanya dan tata bahasanya.
Penggunaan bahasa jawa terasa berbeda antara Madiun dan Malang.
Pertama kali datang ke Malang, saya menganggap bahwa bahasa orang Malang sangat
kasar. Seperti kata ‘kon’ yang artinya kamu, hal ini sangat kasar di
telingaku. Sebagai anak jawa bagian barat atau bahasa jawanya ‘kulonanan’
kata ‘kowe’ lebih halus dibandingkandengan ‘kon’ yang sering
digunakan oleh orang Surabayoan (anak Surabaya). Atau kata ‘lapo o’
yang artinya kenapa terdengar asing di telingaku. Kata ‘nyapo’ lebih
terdengar wajar di telingaku dibandingkan dengan ‘lapo o’. Bahkan,
beberapa kosa kata bahasa jawa bagian ‘etanan’(jawa bagian timur) yaitu
daerah Malang, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan daerah jawa lainnya, tidak
dapat dipahami dalam pikiranku. Contohnya kata ‘lugur’ yang artinya
jatuh. Kata sisir yang disebut suri.
Sering terjadi salah paham saat berdialog dengan logat etanan.
Penggunaan kata ‘kate’ misalnya. Dalam bahasa etanan kate
memiliki arti akan, didaerah Madiun kata ‘arep’ lebih sering di gunakan
dibandingkan kata ‘kate’. Kata ‘kate’
justru digunakan untuk menyebut jenis ayam. ‘Pitik kate’ begitu
panggilanya untuk ayam jago yang mempunyai kaki pendek. Lain halnya dengan kata
‘mari’. Kata mari untuk jawa kulonan berarti sembuh.
Sementara dalam bahasa jawa etanan kata mari artinya selesai. ‘mari
lapo o?” maksudnya ‘habis ngapain?’. Yang aku paham saat pertama kali mendengarnya
adalah ‘siapa yang sakit?’. Jadi bisa dibayangkan betapa aku tidak paham saat
pertama kali berbicara dengan anak etanan.
Kata lain misalnya, embong. Embong menurut bahasa ku
adalah sungai di pinggir jalan. Menurut bahasa etanan embong
berarti jalan. Pernah aku mengalami gagal paham saat berbicara dengan teman ku
asal Malang. ‘Ojok neng tengah embong, minggir o enek motor’ yang
artinya ‘jangan di tengah jalan, minggir ada motor’. Saat mendengarnya aku
berpikir bahwa aku tidak di tengah sungai, kenapa aku disuruh minggir?. Sejak
itulah aku tahu embong adalah nama lain dari ratan yang artinya
jalan.
Lain halnya untuk daerah Tuban dan Bojonegoro. Daerah ini sering
menggunakan kata kamu menjadi ‘em’. Contohnya awakmu menjadi awak’em
(kamu dalam bahasa lebih halus), genem asal kata gonan mu yang
artinya punyamu yang kadang menyebabkan salah paham saat berdialog.
Berbeda lagi dengan anak asal Blitar. Kata ‘ye’ digunakan
untuk tanda tanya menyakinkan. ‘lha iki genan mu ye?’ artinya ‘lah
yang ini milik mu kah?’. Kata ye menggantikan kata kah dalam
bahasa Indonesia. Sementara menurut daerah ku kata ye digunakan untuk
menantang.
Banyak pelajaran dan ilmu baru yang diketahui dari mendengar logat
bicara masing masing daerah. Kita tetap saling bisa berkomunikasi walaupun kendala
bahasa yang tidak sama dan sering terjadi salah paham. Mengenal logat dan cara
bicara orang jawa bagian timur, sebagai anak rantau tentulah logat itu menular.
Sehingga, yang terjadi adalah, setiap kali saya pulang ke Madiun kampung
halaman, saya menggunakan logat orang etanan yang kadang malah
menimbulan image yang buruk di mata masyarakat kampung halaman. Belajar dari
itulah, saya mulai memilah penggunaan bahasa. Menggunakan bahasa halus di rumah
dan menggunakan bahasa etanan di tempat rantau.
Lucunya, kadangkadala aku tak mengerti tentang bahasa jawa alusan
ala orang keraton ngayogyakarta. Tidak ada pembiasaan dari keluarga tentang
kebiasaan berbicara halus. Bukan hanya saya saja yang mengalami hal seperti ini. Banyak dari teman
teman kampung yang tidak terbiasa berbicara bahasa jawa alusan. Ini
terbukti ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Aneh dirasa, jika kita
berbicara bahasa sehari hari dengan orang yang lebih tua. Seperti kalimat ‘wes
mangan?’ yang artinya ‘sudah makan?’ biasa digunakan untuk berbicara antar
teman sebaya. Tentulah ini tidak patut di praktekan untuk orang yang lebih tua.
Untuk wong sepuh (orang tua) menggunakan kata ‘sampun dhahar?’
lebih terdengar sopan.
Pernah saya mengalami kegagalpahaman saat berbicara bahasa jawa alusan.
Saat itu, saya naik bus arah Madiun hendak pulang kampung. Saya pulang
sendirian kala itu. seorang laki laki tua duduk diebelahku. Beliau bertanya ‘Badhe
ngandap pundi?’ ke arahku. Merasa tidak paham kujawab ‘ngapunten?’
artinya ‘maaf?’. Beliau mengulang pertanyaan lagi ‘Badhe ngandap pundi?’.
Asli, saat itu aku tidak paham artinya. Jadi aku bertanya lagi ‘Pripun?’
artinya ‘bagaimana?’. Beliau mengulang lagi ‘Mau turun mana mbak?’. Nah, baru
aku sadar maksud pertanyaannya. ‘Madiun pak’ sambil nyegir malu.
Bukan sekali hal ini kualami. Tak terhitung lagi jumlahnya.
Berbicara dengan orang tua murid yang saya ajar di Taman Pendidikan Al Qur’an
(TPA) di desaku, menggunakan bahasa jawa alusan nyatanya sering mengalami
kesulitan. Tidak patut rasanya jika menggunakan bahasa yang digunakan dengan
teman sebaya dalam acara khataman yang
dihadiri oleh para sesepuh yang bahkan sebagian dari mereka tidak begitu paham
dengan Bahasa Indonesia. Kurang mempraktekkan bahasa jawa alusan dalam praktik
sehari hari adalah alasan ketidaklancaran menggunakan krama alus. Tak mengherankan bila mas ku berkata ‘wong
jowo ra eroh bohoso jowo’ yang artinya orang jawa tidak tahu bahasa jawa.
Tak semua bahasa jawa dipahami secara keseluruhan. Nyatanya, bahasa
jawa memiliki berbagai kosa kata yang berbeda walaupun sama arti di setiap
daerah yang menggunakan bahasa jawa. Seperti bahasa etanan dan kulonan. Seperti
krama inggil dan krama alus. Tentunya, dengan logat yang berbeda
pula. Logat yang kasar dengan nada tinggi, dan logat halus ala kraton. Walaupun
tak mengerti semua bahasa jawa, saya tetaplah orang jawa tulen asal Madiun.
Komentar
Posting Komentar