Malu Berucap Tak Mampu Mengucap
Hari beranjak sore. Matahari mulai
meredupkan sinarnya hendak beristirahat. Seperti biasanya, setiap menjelang
maghrib, Sudir berjalan seorang diri menuju mushala. Seseorang memberi
salam dari belakang. ‘Assalamualaikum pakde[1]’
sapa seseorang dari belakang. Sudir menolehkan kepala dan mencari sumber suara.
Melihat siapa yang menyapa, Sudir tersenyum.
‘ Waalaikumsalam. Kapan datang?’ sambut Sudir. Topan langsung menyalimi
Sudir yang masih memiliki ikatan saudara itu.
‘Tadi malam’ jawab Topan.
Sudir dan Topan melanjutkan langkahnya menuju mushala.
‘Kuliah lancar?’ tanya
Sudir basa basi.
‘Lancar, alhamdulillah.
Zen belum pulang pakde?’ tanya Topan.
‘Belum.’ Jawab Sudir
singkat.
‘Oh. Mungkin Zen sibuk
mengurus tugasnya pakde.’ Timpal Topan menghibur.
Sudir tahu, anaknya
memang jarang pulang. Tidak seperti Topan yang sering terlihat pulang kampung
setiap bulannya. Zen anak laki-laki semata wayangnya, selalu sibuk dengan tugas
kuliahnya. Zen dan Topan kuliah di kota
dan kampus yang sama. Namun mereka berada di jurusan yang berbeda. Zen di Jurusan
Teknik Informatika dan Topan di Jurusan Sastra Inggris.
Melihat Topan yang kerap kali pulang
kampung membuat Sudir kadang teringat akan Zen. Sudir tak pernah menelfon Zen
hanya sekedar untuk menanyakan kabar. Saat pertama kali kuliah, Zen justru
sering menelfon ke rumah. Zulaikha sang istri kerap kali mengangkatnya dan
berbicara lama dengan anak laki-laki semata wayangnya. Mengetahui bahwa Zen
menelfon, Sudir hanya diam. Walau sebenarnya, Sudir sangat senang mendengar
suara Zen dari ujung telfon. Sebagai seorang bapak, Sudir termasuk bapak yang
pendiam. Sudir tak pernah berbicara banyak. Sudir juga tak pernah berbicara panjang
dengan Zen. Hanya seperlunya.
Memasuki semester lima masa
perkuliahan, Zen mulai jarang menelfon rumah. Telfon saja sudah jarang, apalagi
pulang. Tidak ada harapan. Zen pernah sama sekali tidak pulang selama satu
semester perkuliahan. Waktu liburanya pun kadang diisi dengan mengikuti
kegiatan kampus. Sudir paham, anaknya sangat sibuk dengan kuliahnya. Zulaikha
berkali-kali mencoba menelfon Zen, tapi tak pernah diangkat. Kalaupun Zen
mengangkat, itu hanya beberapa menit. Dialog itu akan diakhiri Zen dengan
kalimat ‘Bu, Zen sibuk. Ada laporan yang harus dikumpulkan besok’. Zulaikha
hanya diam dan memahami situasi ini. Ia tak dapat melakukan apa-apa lagi,
selain mengakhiri telfonnya.
Zen adalah anak pendiam. Tak banyak
bicara, sama seperti Sudir. Zen terlalu fokus dengan koding dan urusan kampus yang
lain. Memegang ponsel pun jarang. Ia bahkan sering meninggalkan ponselnya dalam
tas, sementara Zen berkecimpung dengan laptopnya. Tugas kuliahnya semakin
banyak. Belum lagi, ia mengikuti kegiatan organisasi kampus. Tapi, Zen termasuk
anak yang cerdas. Nilai rata- ratanya di atas 3,5. Zen juga dipercaya menjadi
asisten dosen untuk mata kuliah Algoritma. Tak heran jika banyak kaum hawa
mencoba mendekatinya. Hal itu tidak ia pedulikan. Zen sudah menambatkan hatinya
pada seorang perempuan bernama Wati yang berkuliah di Jurusan Management.
Semester lima akan berakhir. Ujian
Akhir Semester (UAS) siap menyambut. Banyak mahasiswa yang berencana
jalan-jalan, sebelum pulang kampung. Ada yang berencana ke pantai, mendaki
gunung, atau mempir ke rumah teman di seberang pulau. Bagi Zen, libur adalah membuang waktu dan uang. Zen sadar, bahwa ia bukanlah
dari keluarga yang kaya. Zen tidak banyak menuntut orang tuanya.
Zen sudah bersyukur bahwa orang tuanya dapat membiayai kuliahnya. Baginya,
belajar sungguh-sungguh adalah caranya untuk membalas jasa kedua orang tuanya.
Liburan kali ini, Zen ingin mengikuti
acara Workshop Teknik Informatika di kota tempatnya berkuliah. Zen ingin memdalami Teknik
Informatika. Workshop ini diadakan dua minggu. Ini berarti ia masih memiliki
sisa waktu sebulan untuk liburan di rumah. ‘Aman, masih ada waktu liburan’
batinnya. Kalaupun Zen berlibur di rumah, Zen akan banyak menghabiskan waktunya
bersama laptop kesayanganya. Hanya sesekali mengunjungi teman-teman kampungnya.
Banyak berbincang dengan Zulaikha ibunnya, bersabar menjawab segunung
pertanyaan ibunya. Ah.. Zen teringat Zulaikha. Sudah lama ia tidak menelfon
ibunya. Maka, malam itu selesai membersihkan diri dan shalat maghrib, ia mengambil
handphone dan menelfon ibunya.
Zulaikha yang tengah menyiapkan makan
malam untuk Sudir kaget saat mendengar ponselnya berbunyi. ‘Pak, coba itu
angkat. Tangan ibuk kotor’ teriak Zulaikha dari dapur. Sudir yang tengah
membaca buku di ruang tamu mengambil ponsel Zulaikha dan melihat siapa yang
menelfon. ‘Zen’ tertulis nama anaknya di layar ponsel. Tanpa pikir panjang,
Sudir mengangkatnya.
‘Assalamualaikum’
sapa Sudir
‘Waalaikumsalam’
jawab Zen sedikit kaget karena tidak biasanya sang ayah mengangkat telfon.
‘Ada
apa le[2]?’
tanya sudir
‘Tidak
ada apa apa. Hanya menelfon’ terang Zen
Diam.
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut anak dan bapak ini.
‘Bapak
sehat?’ tanya Zen berhati hati.
‘Sehat,
Alhamdulilah’ jawab Sudir seperlunya.
‘Kapan
pulang?’ tanya Sudir.
‘Hemm..
tidak tahu pak. Zen masih ada acara di kampus’ jawab Zen.
‘Oh
ya sudah. Dilanjut mengerjakan tugasnya’ timpal Sudir lalu menutup telfon.
Sebenarnya Sudir merindukan anak
laki-lakinya. Belum cukup bagi Sudir untuk melepas rindu melalui suara di ujung
telfon. Ia ingin Zen pulang. Melihat anak semata wayangnya di rumah yang biasa
memainkan laptopnya. Namun, Sudir tak pernah mengungkapkan keinginannya. Sudir
sengaja menutup telfon dengan cepat karena takut mengganggu. Sudir hanya tahu
anaknya akan terganggu jika Sudir terlalu lama menelfon. Apalagi jika
memberikan ponselnya pada Zulaikha, sang istri pasti akan menyita waktu Zen.
Selain itu, Sudir tidak pandai berbicara.
Zen tahu jika bapaknya irit bicara.
Sama seperti dirinya. Sebenarnya Zen ingin bilang bahwa ia ada acara dan
mungkin akan pulang sedikit telat dari jadwal liburan. Tapi, ya itulah
yang terjadi. Zen tak mengatakannya. Zen tahu Sudir pasti akan menyuruhnya
untuk rajin belajar. Zen sebenarnya sangat merindukan Sudir. Ia merindukan saat
duduk berdua di depan televisi, menonton tayangan di layar kaca dalam diam. Ia
merindukan bapaknya, yang kadang menyisakan lauk untuk dirinya. Zen teringat
bahwa dulu Sudir tiba-tiba membelikan Kamus Bahasa Inggris yang Zen
butuhkan tanpa diminta. Sudir punya cara
sendiri menyayanginya.
Lama Zen melamun. Tiba-tiba handphone
nya berbunyi. ‘Wati’ begitu tertera di layar handphone. Zen mengangkatnya.
‘Halo,
assalamualaikum’ ucap Zen mengawali pembicaraan.
‘Waalaikumsalam.
Gimana sudah telfon orang rumah?’ tanya Wati. Wati tahu jika Zen jarang
menelfon orang tuanya. Pesan yang dikirim Wati saja akan dibalas dua puluh
empat jam kemudian. Wati tahu kebiasaan Zen yang jarang berkabar. Wati juga
paham jika Zen adalah laki laki hebat dan cerdas dengan target-targetnya.
‘Sudah’
jawab Zen pendek
‘Yang
ngangkat siapa?’ tanya Wati iseng
‘Bapak’
jawab Zen lagi
‘Terus,
bilang apa beliau?’ Wati semakin penasaran. Wati tahu jika Zen dekat dalam diam
dengan Sudir. Zen pernah menceritakanya.
‘Cuman
nanya kapan pulang’ jawab Zen seadanya.
‘Oh,
yaudah pulang gih, bapak mu kangen’ jawab Wati memberi saran.
‘Beliau
gak bilang kangen’ jawab Zen asal.
Wati
terkadang membenci Zen untuk masalah seperti ini. Zen kurang peka dengan
keadaaan. Zen yang terlampau cuek dan tak memperdulikan sekitar.
‘Zen,
orang tua gak akan bilang kangen. Takut kalau anaknya kepikiran. Kalimat
kapan pulang adalah sinyal kalau bapakmu merindukanmu dan menginginkan agar kau
cepat pulang’ jelas Wati.
Zen
terdiam sejenak. Ia tak pernah memikirkan hal semacam itu. Yang Zen tahu,
bapaknya tak pernah merindukannya. Ia berencana tidak pulang sebelum menghadiri
workshop itu.
‘Zen,
anybody there?’ suara Wati di ujung telefon.
‘Eh
iya’ Zen tersadar dari pemikiranya
‘Nah,
jadi kapan pulang? Bapak mu sudah rindu.’ Goda Wati sambil terkekeh di ujung
telefon.
‘Tidak
tahu. Aku banyak acara.’ Jawab Zen malas.
Wati
menarik nafas dan menghembuskannya. Ia mencoba bersabar menghadapi Zen yang
keras kepala.
‘Zen,
apa sungguh menyita waktumu untuk sekedar pulang barang tiga hari? Toh, kota
asal mu tidak menyebrang pulau, hanya memerlukan waktu tiga jam. Jangan egois
lah jadi anak’ timpal Wati dengan nada menyindir.
‘Aku
ada workshop yang tidak bisa aku tinggalkan.’ Suara Zen meninggi.
Wati
kaget dengan suara meninggi Zen. Wati tahu, Zen punya ambisi dan target dalam menempuh
pendidikanya. Tapi hal itu justru membuat Zen semakin keras kepala dan egois.
‘Iya. Sebelum workshop kan ada jeda
waktu tiga hari setelah UAS. Bisa kan mampir pulang dulu?’ bujuk Wati.
‘Tidak bisa.’ Jawab Zen sengit lalu
mengakhiri telfonnya. Zen tidak tahu jalan pikiran Wati. Zen merasa tidak
egois, ia hanya tak ingin pulang. Apa salahnya, hingga membuat Wati menyebutnya
egois? Zen malas jika harus bolak-balik.
Zen ingin fokus pada workshopnya. Toh, orang rumah tidak bilang merindukannya,
pikir Zen saat itu. Zen tidak ingin terbujuk untuk pulang dari pernyataan Wati.
Plan is plan. Tidak akan pulang sebelum workshop selesai. Ini pertama
kali Zen membentak Wati. Zen tak peduli. Zen memilih tidur untuk menenangkan
fikirannya.
Tepat pukul 12.00 siang, Zen keluar
dari kelasnya. Hari ini adalah hari terakhir ia UAS. Masih ada waktu tiga hari
sebelum workshop dimulai. Zen bisa berleha-leha sebelum workshop. Selepas
shalat dhuhur di masjid kampus, Zen segera memakai sepatunya hendak pulang. Zen
melihat orang tua berumur sekitar enam puluhan tengah duduk sendirian. Awalnya, Zen tidak peduli.
Zen tetap melanjutkan aktifitasnya memakai sepatu. Tanpa disadari, orang tua
tadi sesekali melihat ke arah gedung di depan masjid. Karena penasaran, setelah
Zen selesai memakai sepatunya, ia bertanya.
‘Bapak sedang menunggu siapa?’ tanya
Zen.
‘Anak
gadisku. Dia sedang ada kelas. Jam dua belas katanya kelasnya berakhir. Tapi,
ia tak kunjung datang. Aku jadi khawatir’ jelas orang tua tadi.
‘Bapak menunggu sendirian?’ tanya Zen
lagi
‘Iya.’
Jawab kakek singkat.
‘Rumah
bapak dekat sini ya?’ tanya Zen iseng.
‘Tidak,
memerlukan waktu lima jam untuk sampai di kota ini’ jawab orang tua tanpa
melihat Zen. Tatapan bapak tua ini tak lepas dari gedung di depan masjid.
‘Ada
perlu apa pak, sampai datang kemari?’ tanya Zen penasaran.
‘Tidak
ada urusan apa-apa. Hanya rindu sama anak gadisku, dia lama tidak pulang ke
rumah. Setelah ini, kami pulang bersama menggunakan mobil pribadi’ jelas orang
tua jujur.
Seperti mendapat temparan. Apa ini
yang dinamakan kasih sayang orang tua sepanjang masa. Rindu. Hanya alasan itu
yang membuat orang ua itu datang ke kota tempat anaknya berkuliah. Sedangkan
Zen? Zen tahu ia juga merindukan bapak dan ibunya. Tapi tak ada pengorbanan
yang dilakukannya. Tidak mungkin jika bapak dan ibunya datang ke kampus. Mereka
sudah tua dan sibuk menggarap sawahnya. Jika ingat, Zen akan menelfon untuk
menanyakan kabar. Itu pun hanya lima menit paling lama. Zen terdiam. Ia
tenggelam dalam fikirannya. Mungkin benar kata Wati, ia terlalu egois. Tanpa
disadari Zen, gadis yang ditunggu kakek itu datang dan pergi bersama bapak tua
meninggalkan Zen yang terdiam melamun.
Zen pulang ke kos dengan rasa
penyesalan. Ia merasa bersalah terhadap orang tuanya. Perkataan Wati semalam
terngiang di fikiran Zen ‘apa sungguh menyita waktumu untuk pulang sekedar tiga
hari?’. Benar. Apa salahnya aku pulang? pikir Zen. Maka selepas maghrib, ia
menelfon orang tuanya.
‘Assalamualaikum’
sapa Zulaikha di ujung telfon
‘Waalaikumsalam’
jawab Zen singkat
‘Gimana
kabarnya le?’ tanya Zulaikha dengan tenang
‘Baik
bu, alhamdulillah’ jawab Zen. Zen merasa bersalah mendengar ibunya yang lama
tak ia temui.
‘Bu,
Zen besok pulang’ terang Zen
‘Yang
bener le?’ tanya Zuliakha dengan nada tak percaya.
‘Iya
bu, benar. Lama Zen tidak pulang. Kangen rumah. Rindu ibu dan bapak’ terang Zen
menahan suara agar tidak bergetar. Zen sadar ia salah karena jarang menelfon
orang tuanya dan jarang pulang.
‘Iya
le, bapak mu kangen tapi gengsi mau bilang. Tiap hari nanyain Zen
nelfon tidak hari ini bu?’ terang Zulaikha terkekeh sambil melirik Sudir yang
membaca buku di ruang tamu. Sudir mendengar kabar itu hanya senyum simpul di
balik bukunya.
‘Hehe.
Besok Zen pulang tiga hari saja, sebelum Zen balik lagi karena ada workshop’
jelas Zen
‘Iya
iya ditunggu ya le. Berangkat dari kosan pagi aja. Nanti makan siang di
rumah. Ibu masakin makanan kesukaanmu nanti’ tambah Zulaikha girang.
‘Iya bu. Makasih’ jawab Zen menahan
air mata.
Malam itu, perasaan hangat menjalar
di hati Zen. Wati benar, kadang orang tua tidak ingin menambah beban pikiran
anak dengan ucapan rindu atau semacamnya. Memang sebagai anak kita harus peka
dan mengerti dengan jalan fikiran orang tua. Malam itu juga Zen menelfon Wati.
Menjelaskan rencana pulangnya dan tentunya meminta maaf karena sifat keras
kepalanya.
#30DWC #30DWCJilid16 #Day10
Komentar
Posting Komentar