It's Not Easy
Bekerja sebagai pers itu tidak semudah kelihatanya. Kelihatanya aja kece, keren, kemana-mana bawa kartu pers, bawa kamera, but it's not totally good. Kamu gak pernah tahu gimana rasanya verifikasi data ke banyak pihak. Gak tahu rasanya janjian tapi di php-in mlulu sama narasumber. Rasanya outline supaya wacana itu jadi data yang akurat dan fakta. Gak semudah itu. Percayalah.
Pengalaman baru. Aku bekerja di dua media pemberitaan. Pertama, pemeberitaan kritik, kedua media good news. Di media kritik ini jujur aku jarang sekali berkonstribusi dalam bentuk tulisan. Berbeda dengan media good news, aku sudah menulis beberapa berita dan sudah terbit. Aku berada di dua kutub yang kontras dan bertolak belakang. Aku sekarang menempatkan diriku di pihak yang netral. Oke aku memberitakan what a good news but aku juga memberitakan apa yang memang harus dikritik untuk menunjang perbaikan. Kritik itu ada untuk memperbaiki apa yang salah dan kurang dengan harapan kedepan lebih baik. Kalau tidak mau dikritik anda siapa? Tuhan? yang selalu merasa benar?. HAHAHA
Ada satu cerita. Kampus tercinta sedang bekerjasama dengan media online yang pembacanya sudah jutaan. Media online ini hanya melayani good news saja. Mereka tidak berprinsip bad news is a good news layaknya media pada umumnya. Tapi, prinsipnya good news is a good news. Media online ini mengadakan pelatihan jurnalistik dasar bagi reporter yang mau bekerja sama untuk menyumbangkan good news supaya rating kampus meningkat. Dalam pelatihan tersebut setelah pemateri menyampaikan materi, beliau menyuruh peserta untuk menulis berita apapun yang sesuai dengan kaidah media tersebut.
Malamnya, grup rame membahas ada anak yang beritanya di upload sama media online tersebut. Merasa bangga, dia memberikan caption yang orientasinya menyuruh mahasiswa tidak hanya ngomong tapi juga menulis. Ya, banyak anak-anak yang menyatakan "wah, bagus bagus", "mantap wes, lanjutkeunn" dan tanggapan positif lainya. Karena aku penasaran, aku membaca berita tersebut. Satu pertanyaan ku saat itu "Pewarta kapan wawancaranya? kan tadi dia nulis berita cuman 15 menit di dalam ruangan. dan gaada mahasiswa yang terkait berita tersebut". Maksudku, aku juga mengikuti acara yang sama, aku pun juga menulis. Tapi tentang kejadian kegiatan hari itu, si pewarta ini menulis hal lain yang tidak terjadi saat itu. Yang kiranya gak dia ikutin pada jam itu. Ya, mungkin liputan kemarin pikirku.
Aku buka grup yang lain ternyata nama narasumber yang tercantum dalam berita tidak merasa diwawancara. Nah, aku binggung. Kok bisa? Rupanya, pewarta ini tidak klarifikasi kepada narasumbernya. Memang betul dia itu nanya ke narasumber tapi itu off the record. Maksudnya, ya dia tidak mengaku sebagai wartawan, dan itu salah. Grup yang mulanya memuji pewarta ini tadi, jadi diam dan tidak ada yang komentar kritis kecuali si narasumber.
Dari kasus ini, bisa lah disimpulkan. Jadi jurnalis itu gak mudah. Kamu itu perlu klarifikasi. Gak sekedar nulis berita supaya ada berita baik dan melambungkan nama. Apalagi dengan tujuan tertentu dan kepentingan pribadi. Silahkan cek kode etik jurnalistiklah supaya jelas. Supaya, kalau menemui hal yang tidak mengenakkan dari media bisa antisipasi. Aku menyayangkan hal ini ya, kenapa tidak klarifikasi? berita yang nampaknya bagus kalau tanpa klarifikasi itu jatuhnya hoax. Jurnalis tidak menyebarkan berita hoax. Ya, mungkin si penulis ini masih belajar dan pemula. It's fine. Yang disayangkan lagi, kenapa penerbit dari media online mau mempublish berita tersebut tanpa tau kejelasannya. Hem.... Nulis berita tidak semudah nulis blogger atau esai. Berita perlu konfirmasi, klarifikasi. Pers ada Undang-Undang nya gak asal-asalan bekerja. Gak ngasal nulis. That's it.
Pengalaman baru. Aku bekerja di dua media pemberitaan. Pertama, pemeberitaan kritik, kedua media good news. Di media kritik ini jujur aku jarang sekali berkonstribusi dalam bentuk tulisan. Berbeda dengan media good news, aku sudah menulis beberapa berita dan sudah terbit. Aku berada di dua kutub yang kontras dan bertolak belakang. Aku sekarang menempatkan diriku di pihak yang netral. Oke aku memberitakan what a good news but aku juga memberitakan apa yang memang harus dikritik untuk menunjang perbaikan. Kritik itu ada untuk memperbaiki apa yang salah dan kurang dengan harapan kedepan lebih baik. Kalau tidak mau dikritik anda siapa? Tuhan? yang selalu merasa benar?. HAHAHA
Ada satu cerita. Kampus tercinta sedang bekerjasama dengan media online yang pembacanya sudah jutaan. Media online ini hanya melayani good news saja. Mereka tidak berprinsip bad news is a good news layaknya media pada umumnya. Tapi, prinsipnya good news is a good news. Media online ini mengadakan pelatihan jurnalistik dasar bagi reporter yang mau bekerja sama untuk menyumbangkan good news supaya rating kampus meningkat. Dalam pelatihan tersebut setelah pemateri menyampaikan materi, beliau menyuruh peserta untuk menulis berita apapun yang sesuai dengan kaidah media tersebut.
Malamnya, grup rame membahas ada anak yang beritanya di upload sama media online tersebut. Merasa bangga, dia memberikan caption yang orientasinya menyuruh mahasiswa tidak hanya ngomong tapi juga menulis. Ya, banyak anak-anak yang menyatakan "wah, bagus bagus", "mantap wes, lanjutkeunn" dan tanggapan positif lainya. Karena aku penasaran, aku membaca berita tersebut. Satu pertanyaan ku saat itu "Pewarta kapan wawancaranya? kan tadi dia nulis berita cuman 15 menit di dalam ruangan. dan gaada mahasiswa yang terkait berita tersebut". Maksudku, aku juga mengikuti acara yang sama, aku pun juga menulis. Tapi tentang kejadian kegiatan hari itu, si pewarta ini menulis hal lain yang tidak terjadi saat itu. Yang kiranya gak dia ikutin pada jam itu. Ya, mungkin liputan kemarin pikirku.
Aku buka grup yang lain ternyata nama narasumber yang tercantum dalam berita tidak merasa diwawancara. Nah, aku binggung. Kok bisa? Rupanya, pewarta ini tidak klarifikasi kepada narasumbernya. Memang betul dia itu nanya ke narasumber tapi itu off the record. Maksudnya, ya dia tidak mengaku sebagai wartawan, dan itu salah. Grup yang mulanya memuji pewarta ini tadi, jadi diam dan tidak ada yang komentar kritis kecuali si narasumber.
Dari kasus ini, bisa lah disimpulkan. Jadi jurnalis itu gak mudah. Kamu itu perlu klarifikasi. Gak sekedar nulis berita supaya ada berita baik dan melambungkan nama. Apalagi dengan tujuan tertentu dan kepentingan pribadi. Silahkan cek kode etik jurnalistiklah supaya jelas. Supaya, kalau menemui hal yang tidak mengenakkan dari media bisa antisipasi. Aku menyayangkan hal ini ya, kenapa tidak klarifikasi? berita yang nampaknya bagus kalau tanpa klarifikasi itu jatuhnya hoax. Jurnalis tidak menyebarkan berita hoax. Ya, mungkin si penulis ini masih belajar dan pemula. It's fine. Yang disayangkan lagi, kenapa penerbit dari media online mau mempublish berita tersebut tanpa tau kejelasannya. Hem.... Nulis berita tidak semudah nulis blogger atau esai. Berita perlu konfirmasi, klarifikasi. Pers ada Undang-Undang nya gak asal-asalan bekerja. Gak ngasal nulis. That's it.
Komentar
Posting Komentar