Jangan Pelihara Sifat Malas Beribadah
Aku terlahir sebagai seorang muslim tinggal di wilayah yang
mayoritas adalah muslim. Aku tak pernah membayangkan untuk menjadi seorang
Kristen, hindu atau budha. Tapi, aku selalu bertanya-tanya, bagaimana jika aku
terlahir di luar negeri yang bermusim dingin dan salju. Apakah aku akan
berjilbab? Hidup sebagai muslim yang mempunyai aturan dalam hidup seperti
sekarang? Atau aku menjadi seperti mereka dalam artian tidak berjilbab, dan
menjadi non muslim? Pertanyaan –pertanyaan itu muncul ketika aku masih berusia
13 tahun tepatnya saat aku berada di kelas 6.
Pertanyaan-pertanyaan takdir seperti apakah aku akan menjadi
seorang muslim jika aku lahir di negara lain aku tidak bisa menjawabnya. Aku
hanya diam dan berpikir. Melupakan tepatnya. Aku takut ketika aku harus
memikirnya dan mendapatan jawaban yang salah. Aku berpikir bahwa agama mungkin
memang hal sensitif jika dibahas. Kita juga akan tersesat jika kita terlalu
memahaminya tanpa ada pemahaman sebelumnya. Karena pada hakikatnya, agama itu
apa? Tuhan itu siapa? Kenapa kita beragama? Jika memang kita tidak tahu
jawabanya dan bertanya pada orang yang tidak tepat kita bisa saja salah jalan.
Akhirnya, justru menyebabkan rasa
kurangi iman, dan meragukan semua hal yang tak terjawab.
Hal-hal metafisika yang berkaitan dengan abstrak mungkin akan terus
dipertanyakan dan karena tidak mudah
untuk mendapatkan jawaban. Semua itu disangsikan. Sekarang aku beragama Islam.
Aku beragama islam karena keturunan bukan karena aku bisa memilih agamaku
sendiri. Aku dilahirkan islam, di doktrin dengan segala nilai-nilai keislaman
sejak aku kecil hingga sekarang. Dengan, doktrin yang sudah tertanam seperti
itu, apakah mungkin aku akan mengingkari agamaku sendiri?
Aku mendapatkan sekolah filsafat beberapa hari lalu. Teori
empirisme yaitu menyangsikan semua hal yang ada di bumi ini memang menggoyahkan
iman. Pemateri saat itu bertanya “Apa yang kamu cari dari beragama?”. Salah
satu temanku menjawab “Untuk mencari ketenangan”. Saat itu pemateri tertawa. Kalau
kita memang cari ketenangan, ketika kita belum shalat apakah kita tenang? Saat
akan shalat maghrib berjamaah dan kita hanya diberi waktu beberpa menit untuk
keluar dari kamar dan menuju masjid, dengan terbru-buru. Apakah kita tenang?
Justru karena terburu-buru itu kita tidak tenang. Kita jadi kepikiran apa-apa
yang belum kita amankan. Kamar belum dikunci misal. Bagaimana jika ada maling?
Hal-hal semacam itu justru membuat kita tidak tenang. Lalu, mana hakikat agama
yang membuat kita tenang? Lebih baik tidak beragama, kita tenang-tenang saja.
Kita tidak percaya agama, tidak percaya surga dan neraka. Hidup hanya
sebagaimana mestinya. Tidak berpikir kehidupan setelah mati. Esensi tenang lalu
didapatkan dari memilih untuk tidak beragama.
Tapi, aku pribadi mengatakan aku justru tidak akan tenang dan
nyaman ketika aku tidak mempunyai agama. Aku manusia yang bergantung. Aku
percaya adanya Tuhan. Bagaikan hidup tanpa arah jika kita tidak percaya adanya
Tuhan. Aku mengenal orang atheis, dia mengaku dia lebih nyaman ketika ia tidak
beragama. Semua hal yang ada dibenaknya terasa hilang tatkala ia memilih
menjadi orang atheis. Orang yang tidak percaya Tuhan. Hal metaisika yang
disangsikan hilang saat ia mulai menyakini “Aku tidak percaya Tuhan”. Sehingga ia
tidak perlu repot untuk memikirkan surga dan neraka. Tidak takut apakah
perbuatannya dosa atau tidak, apakah ia berada di jalan yang benar atau yang
salah. Karena hakikatnya ia sudah terlepas.
Berbicara denganya dengan tema atheis ini memang sedikit
menyesatkan. Aku pribadi setelah beberapa hari jalan dan ngopi dengan
dia -orang atheis- aku lebih banyak merenung. Bertanya-tanya yang aku pribadi
tidak tahu kemana harus mencari jawabannya.
Selain orang atheis ini, aku juga berada di organisasi yang mana beberapa
anggotanya adalah orang yang jarang beribadah. Awalnya, aku tidak peduli dan
aku tidak menyadari. Aku hanya akan datang kepada mereka dengan beberapa alasan
dan karena kebutuhan. Hingga, pernah sekali aku datang kepada mereka dan
mengajak mereka untuk shalat jamaah. Tapi, aku ditertawakan. Aku tak tahu kenapa
mereka tertawa saat aku ajak shalat. Ada satu temanku namannya (sebut saja) Raihan
yang mau jadi imamku saat itu. Seusai shalat, salah satu teman Raihan bilang
“kesambet setan apa kamu mau shalat?” sambil tertawa. Dari pertanyaan itu, aku
bisa menyimpulkan jika Raihan dan beberapa teman organisasiku memang jarang
beribadah.
Karena penasaran, aku bertanya secara pribadi ke Raihan “Kenapa
samean kok ditanya gitu sama anak-anak lain?”. Raihan hanya diam, lalu menjawab
“ada beberapa alasan kenapa aku tidak shalat”. Setelah itu, aku tidak lagi
mengajak anak-anak organisasi itu untuk shalat. Ketika waktu shalat aku akan
shalat sendirian dan tidak mengajak mereka.
Lama-kelamaan, kebiasaan mereka yang jarang shalat ini menular
kepadaku. Mulanya, aku hanya menunda waktu shalat. Yang biasannya aku tepat
waktu shalat, aku selalu shalat di akhir waktu. Kebiasaan untuk mengaji setelah
shalat pun sulit aku lakukan, ajakan teman untuk mengaji kadang juga tak aku
indahkan. Kebiasaan itu berangsur-angsur berimbas padaku untuk tidak melakukan
shalat.
Rasa malas yang menyelimuti hatiku ini lama-lama aku tamgisi. Aku merasa
jauh dari Tuhan. Aku seperti orang yang tidak tahu arah. Aku lupa jika aku
punya tanggung jawab yang harus aku tunaikan lima waktu dalam sehari. Sejak itu,
aku berusaha untuk membatasi diri. Jika sa yang mengajakku ngopi, aku tolak. Aku
membutuhkan wajtu hampir dua minggu untuk menghindari mereka. bisa dibilang
sebulan malah. Selama aku menghindari mereka, aku perbanyak untuk melamun,
menangis, dan bersedh. Tak beralasan memang. Tapi ya itu aku, aku sedih
menangis dan ada yang kosong dalam diriku.
Aku perbanyak istigfar, shalat tepat wajtu, dan mulai mengaji
setelah maghrib. Aku harus menegaskan pada diriku sendiri. aku boleh dan bisa
bergaul dengan mereka asal aku jangan samapai mengosongkan hati dan menjadi
pemalas dalamn beribadah. Aku toleran kepada mereka yang memilih untuk tidak
shalat. Dan mereka harus toleran ketika aku harus tetap memilih agamaku dan
hatiku yang tak bisa dibiarkan kosong. Sekian!
Komentar
Posting Komentar