Bukan Menyesal Aku Menyukaimu

‘Terus kamu maunnya gimana?’
‘Jujur ya.. kan katamu honestly is beautiful. Katamu kita udah tua masak mau yang gak seriusan? Jadi, ya aku ikhtiarin kamu walaupun nanti ada rasa bosan.. ya kali masak nyerah cuma gara – gara bosan, gak kece lah ya’
             Dua jam. Tiga jam. Lima jam. Sepuluh jam. Diam. Tak ada balasan darinnya. Hubungan kami menggantung. Cuma sekedar teman rasa pacar. Sebagai cewek yang tidak suka akan ketidakpastian, aku membenci status kita. Dia datang lalu pergi sekenanya. Ini hati bukan halte.  Tiga hari setelah aku mengirim chat ku, marah. Ya, aku marah. Dengan percaya diri dia tak membalas chat ku. Chat terakhir ku adalah sebuah pengakuan. Aku tak pernah mengaku suka pada cowok selain dia.
            Last seen today 8:54 AM
            ‘Arrgghh.. kemana se ni anak?’  gerutuku sambil membuang handphone dia atas bantal. Terdiam sesaat ‘oh.. jadi sibuk beneran ya?’ pikirku lagi. Aku ambil handphone ku lagi. Bimbang. Antara mulai whatsapp atau tidak. Aku mulai mengetik ‘sibuk yak?’ aku hapus lagi. ‘ciyee.. yang beneran sibuk’ aku hapus lagi. ‘say? Marah yak?’ aku hapus lagi. Ah sudahlah, mungkin dia memang sibuk. Aku buang handphone ku lagi diatas bantal.
            Kesempatan ku untuk bertemu dengannya hanya saat kelas Bahasa Arab sore. Itupun aku hanya memandangnya dari jauh. Kelas kami bersebrangan gedung. Aku baru mengetahuinnya beberapa hari setelah kelas Bahasa Arab aktif, tepatnya hari dimana terakhir kali aku membalas chatnya. Sekitar pukul delapan, setelah kelas Bahasa Arab usai, hujan rintik - rintik tengah menari di luar kelas. Aku yang notabene tidak suka hujan, malas menerobos hujan rintik malam itu. Terdiam diriku di depan kelas menghadap Gedung A yang merupakan kelas Bahasa Arab putra.
            Di Gedung A, tempat kelas Bahasa Arab putra baru saja bubar. Satu persatu para penghuni kelas keluar dari kelas. Begitu juga kelas yang berada di sebrang kelasku. Penghuni kelas itu sudah menampakkan hidungnya. Ada yang memakai kopiah, ada cowok gendut berkemeja hitam keluar dari kelas, ada juga cowok yang memilih untuk berhenti di depan kelas. Ada juga yang memakai kacamata, bahkan ada yang menggunakan jaket berwarna merah dibelakangnya. Jaket merah? Hati ini berdetak lebih cepat dari biasannya. Cowok berjaket merah itu, gaya menggendong tas, dan cara berjalannya. Rian. Ya, aku yakin memang itu Rian, cowok yang telah mengabaikanku. Apa kabarnya dia? aku hanya mengawasi dia berjalan sambil berbicara dengan temannya yang berada di samping kanannya. Aku mengawasinya mulai dari dia keluar kelas, berjalan dengan temannya, hingga ia menuruni tangga dan berjalan di lantai satu. Memang itu dia. Otak ini teringat kembali akan chat terakhirku.
            ‘Ahh.. biarlah!’ tegas otakku. Tak kusadari hujan sudah reda. Aku berencana untuk pergi ke ATM sendiri. Berjalan pun terasa malas mengingat lagi tentangnya. Tapi, ya sudahlah. Malam itu bukan malam yang bagus. Aku berpapasan berlawanan arah dengannya tanpa sengaja. Aku tahu dia tidak akan mengetahui keberadaan ku diantara manusia berjilbab malam itu. Tapi, aku tahu keberadaannya diantara keramaian wanita berkerudung. Saat berpapasan dengannya yang ku lakukan hanya menepuk bahunnya dan berkata ‘jahat bener lu’ dan aku berjalan menjauhinnya. Demi apapun di dunia ini, aku tidak bermaksud mengatakan itu. Kata kata itu terucap begitu saja dari mulut blak-blakan ku. Reaksinnya? Seperti biasa, hanya menatapku dan tidak berbicara. ‘I just wanna to be cool’ itu alasannya, mengapa setiap kali kita berpapasan, dia  hanya diam dan memandang ku. Dan aku berharap setelah berpapasan itu dia mulai chat. Tapi, khayalan tetaplah khayalan.
            Satu minggu pasca chat terakhirku.
            ‘Apa iya dia menghindariku?’ pikirku. ‘Apa iya dia sudah tidak suka padaku saat aku mengaku padannya?’ pikirku ulang. Dan memang setelah seminggu tidak ada kabarnya, aku biasa saja. Mengingat dia pernah tidak chat seminggu hanya ingin membuatku rindu padannya. Tapi, kali ini berbeda. Tak seperti itu lagi yang kurasakan. Tanda – tanda dia akan pergi sudah terasa seminggu ini. Atmosfer akan kandasnya hatiku pun terasa.
            Tak apalah dia tak memulai chat lagi dengan ku. Sapaan yang aku inginkan digantikan dengan melihat dia dari seberang gedung, walau sekejap. Seperti lirik lagu milik Didi Kempot ‘senajan sak kedep e moto kanggo tombo kangen sak jeruning dodo (Walau hanya sekejap mata untuk obat kangen di dalam dada) yang dulu pernah ia katakan padaku saat bertemu denganku selepas kelas bahasa arab saat semester satu. Saat itu adalah pertemuan kedua ku dengannya. Pertemuan pertama ku adalah saat malam libur Idul Adha. Itu kali pertama aku bertemu dengan cowok face to face, empat mata, tanpa membahas tugas. Awalnya aku menolak saat dia ngajak ketemuan. Tidak pernah sekalipun aku bertemu dengan cowok empat mata tanpa ada alasan. Tapi, berhubung saat itu ada kesempatan, aku iyakan. Kali pertama dia kenal aku adalah saat kumpulan pertama mahasiswa penerima beasiswa. Saat itu, satu persatu anggota mengenalkan diri satu persatu. Aku memang tidak terlalu peduli dengan kumpulan beasiswa ini. Jadi, aku tidak mengingat nama dan wajah penerima beasiswa terutama cowok. Untuk menghafal nama dan wajah cewek saja susah sangat. Apalagi, menghafal wajah cowok beserta namannya
            Saat perkenalan itu, dia tahu keberadaan ku, sayang aku tidak tahu keberadaannya. Dan kali pertama aku mengetahui wajahnya adalah saat malam kumpulan kedua penerima mahasiswa beasiswa.  Saat itu kita di satu tempat yang sama. “ Jangan rame mlulu, perhatiin kakaknya” komplainnya lewat whatsapp dan hanya aku read. “ Hey look at me!” tambahnya lagi.
            Aku membaca chat ke duanya sambil mengerutkan kening. Pikirku saat itu adalah ‘Ngapain aku liat muka,mu?’. Tapi, baiklah aku liat wajahnya. Dan yaa, sebagai cowok basket dia tinggi, rambut keriting rapi karena saat itu ia potong pendek, memiliki mata yang tidak lebar dan tidak sipit, jidat lumayan lebar menunjukkan dia pintar, bibirnya tidak terlalu tipis menunjukkan ia pendiam. Hidungnya, tidaklah mancung dan tidak pesek sementara alisnya, tidak tebal seperti milkku, justru malah kebalikannya. Sebagai cowok lumayan lah, enak dilihat. Teman ku juga mengatakan dia lumayan keren jika menggunakan jaket merahnya dan cukup ganteng.
            Dua minggu kemudian..
            Aku masih menunggu chat darinnya. Di fase dua minggu ini, aku sudah geregetan menunggu chat darinnya. Setiap aku bukak kontak whatsapp, aku selalu mengetik namannya di kolom search. Aku selalu mengecek kapan terakhir dia cek whatsapp.  Realita yang ada, dia jarang cek handphone. Aku sampai hafal kapan dia terakhir cek whatsapp.
            Di pagi hari terakhir dilihat adalah pukul 06.00 atau 07.00 biasannya lebih sedikit. Siang hari ia akan membuka  whatsapp pukul 11.30 atau 12. 00.Lalu ia membuka handphone lagi pukul 14.00 atau lebih. Setelah itu biasannya antara jam 16.00 atau 17.00 jika tidak pukul 18.30 ia membuka handphone lagi. Malam hari, dia akan membuka handphone pukul 20.00 setelah itu takkan dia membuka handphonenya hingga pukul 23.30 tengah malam atau mungkin pukul 01.00 malam bahkan kadang pukul 03.00 dini hari. Karena mungkin tugasnya memang banyak. Maklumlah anak teknik.  Dua minggu yang sangat berat bagiku. Aku cerita hal ini pada Hana teman kamar ku.
            “ Han, sekarang baru kerasa kalau aku emang suka sama si Rian. Bodohnya, aku baru sadar setelah dia pergi, habisnya aku digantung”, ceritaku mengawali curahan hatiku.
             “Mungkin sekarang kamu dijauhkan dulu darinnya Ra, biar kamu tahu kamu suka beneran apa enggak sama dia. Buktinnya sekarang kamu udah sadar kalau kamu memang suka sama si Rian. Bahkan bisa dibilang sayang. Sayangnya kamu sadarnya telat. Lebih disayangkan lagi, dia tiba-tiba hilang saat kamu mulai sayang dan mengaku untuk ikhtiarin dia. Hati hati lho ra, kamu bakal susah move on kan dia yang pertama buat mu”  komentarnya.
            Entahlah. Aku tak tahu pasti kemana jalan pikirannya. Semenjak aku tidak kontak dengannya, aku memperbarui niat lagi. Niat pertama menginjak di tanah rantau ialah kuliah bukan mencari pacar. Tentunnya, menggapai mimpi tetap menjadi tujuan. Jadi, dia bukan prioritas. Aku pun mulai membeli buku TOEFL dan membaca banyak buku. Mungkin ini adalah pelarian ku untuk move on. Move on memanglah sulit, aku akui. Saat menganggur aku masih saja melihat profil whatsapp nya dan melihat last seen-nya. Atau aku buka instagram dan melihat akunnya, jika tidak begitu, aku melihat facebook dan melihat berandannya. Jika tidak, aku memandang fotonya yang diambil oleh temanku, saat dia tak sengaja bertemu dengan Rian di warung makan.
            Sulit aku akui. Mengingat dia yang pertama bagiku. Pertama kali aku mengatakan bahwa aku akan tetap stay walaupun nanti banyak halangan di depan. Pertama kali juga aku menjatuhkan rasa suka ku pada seorang cowok.
            Tiga minggu kemudian..
            Kandas. Kata itu yang aku rasakan dan cocok dengan ku. Sekarang aku harus benar benar move on. Tak ada yang diharapkan lagi dari Rian. Aku juga tahu sifatnya bahwa ia tak akan kembali lagi dengan mantan. Mungkin aku memang mantannya, mantan teman rasa pacar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ia akan pergi dan tak kan kembali. Terima kenyataan. Belajar ikhlas. Walaupun sulit.
            Akhir bulan ini, akan ada kuliah tamu dari Pak Chairul Tanjung si Anak Singkong di kampus ku. Mahasiswa penerima beasiswa diharapkan hadir. Di grup whatsapp sudah ramai absen siapa saja yang bisa hadir. Lantas, aku menuliskan namaku ‘Aira Sa’diyah’ di urutan 55. Aku scroll up siapa saja yang ikut. Tak disangka, di urutan 47 tertera nama ‘Muhammad Rian’. Awalnya, sempat tidak ingin ikut. Tapi biarlah, niatku ingin bertemu dengan Pak Choirul bukan bertemu dengannya. .
            Hari H pun tiba. Di jadwal tertera kuliah mulai pukul 13.00 siang hari. Aku berangkat pukul  setengah dua. Untungnya, masih tersisa kursi kosong diantara banyak kursi yang sudah terisi. Aku melihat kanan kiri ku mencari temanku yang juga ikut acara itu. Yang kutemukan bukanlah teman ku, melainkan si Rian. Kesal. Kenapa aku harus tahu keberadaannya?. Sempat bad mood. Tapi, baiklah sekali lagi ini untuk mencari ilmu. Bertemu dengannya bukan halangan.
            Pukul 15.30 sore barulah tamu yang ditunggu hadir. Pak Chairul Tanjung dan Pak Nuh mantan menteri pendidikan. Senang bukan main, aku dapat melihat wajahnya. Kuliah berlangsung sekitar satu jam setengah. Setelah itu, seperti biasa akan ada sesi tanya jawab. Di sesi tanya jawab ini aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku bahkan berdiri agar mendapat kesempatan bertanya. Berhasil. Aku ditunjuk oleh moderator untuk bertanya.
            Saat itu ada 3 orang penanya termasuk aku. Dan aku diurutan terakhir. Pertanyaan yang aku lontarkan mendapat sambutan dari banyak audien. Aku bertanya pada Pak Chirul Tanjung “Pak, begini anda ini kan S1 dokter gigi, nah sementara sekarang bapak menjadi seorang bisnismen bukan dokter gigi. Pernah gak sih bapak merasa salah jurusan?”  tepuk tangan dan sorak sorai langsung menggema di ruangan itu “Karena gini pak, saya kan sebagai maba(mahasiswa baru), banyak kakak tingkat yang mengatakan semakin tua jurusan mu semakin terasa kok kalau kalian salah jurusan. Nah, pendapat Pak Chairul sendiri ini bagaimana?”
            Selanjutnya, aku meminta dengan hormat kesediannya untuk memberikan kenang kenangan berupa tanda tangan di buku Choirul Tanjung si Anak Singkong yang aku punya.  Yang lebih menggembirakan aku mendapat kesempatan untuk berdiri dan berbincang bincang dengan Pak Nuh juga Pak Chairul walaupun tidak lama.
            Niatku saat bertanya adalah ingin bertemu beliau orang orang hebat, agar ketularan dan sebagai tambahan membuat si Rian ini menyesal karena telah melepasku. Menurutku aku cukup keren, bisa maju, bertanya juga mendapat tanda tangan dari Pak Choirul yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Ini salah satu caraku move on darinnya. Membuktikan kalau aku terlalu berharga untuk dilepaskan begitu saja tanpa ada kepastian. Khayalan ku adalah ia akan kembali chat dengan ku. Tapi, sekali lagi khayalan tetaplah khayalan. Masih sama. Dia tak memberi  selamat atau semacamnya untuk ku.
            Dua hari setelah kejadian yang membanggakan itu.
         Senin sore pukul dua, hujan turun lagi. Kali ini, hujan turun beserta petir yang saling bersahutan. Satu jam, ku menunggu hujan reda. Baru pukul tiga sore aku kembali pulang. Dalam perjalanan pulang inilah aku berpapasan lagi dengan Rian. Dia berjalan dengan tiga orang temannya. Aku berniat untuk menyapannya, tapi dia tak melihatku sama sekali. Apalah daya, niat baik justru tak mendapat respon. Baiklah, mungkin dia memang sudah melepaskan ku. Sekarang, waktunnya aku untuk move on dengan menunjukkan kelebihan yang aku punya, agar dia menyesal telah melepasku. Bukan aku yang menyesel karena telah menyukainnya. Biarlah, waktu yang membutikan semua itu. Waktu juga yang akan menyembuhkan lukaku. Entah berapa waktu yang aku butuhkan.  

#30DWC #30DwcJilid16 #Day6 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Tahu Bahasa Jawa, Tidak Berarti Bukan Jawa

Kualitas Jempolan, Yuk Simak Keunggulan Iphone 6 Yang Wajib Kamu Tahu

Jangan Pelihara Sifat Malas Beribadah