Orang Desa atau Orang Kota?
Katak
dalam tempurung kalau boleh dibilang hidupku selama 19 tahun. Lahir, tumbuh,
besar dan berkembang di sebuah desa yang sebenarnya ga terpencil amat sih.
Butuh waktu 15 menit menggunakan motor untuk mencapai kota. Hidup sebagai orang
desa tak lantas membuatku untuk tidak memiliki tujuan. Impian dan cita-cita
yang tinggi sudah kukenal sejak aku berumur 12 tahun. Kelas 6 MI saat aku
membaca Novel Negeri 5 Menara yag mengajarkan tentang mimpi. Kalau boleh dibilang
aku terinspirasi dari Bang Fuadi. Berharap suatu saat bisa menyamai beliau
untuk menulis novel atau berkeliling dunia. Satu mimpiku terwujud. Katak dalam tempurung
keluar setelah 19 tahun terkurung. Aku pergi merantau untuk bersekolah ke
Malang. Belajar seperti sekarang ini. Berproses, terbentur, dan akhirnya
terbentuk. Kembali ke desa setelah belajar di malang hampir 2 tahun mengajarkanku
betapa beda sekali pemikiran orang kota dengan orang desa.
Aku
tidak mendeskriminasikan orang desa sebagai kaum bawah yang gatau apa-apa.
Bukan. Aku mendifinisikan orang desa ini adalah orang yang secara pemikiran
masih kolot. Masih belum tau perkembangan zaman, belom bisa mandiri secara
materi, dan masih percaya dengan hal-hal mistis. Menjalankan tradisi tidak
salah, tapi kala tradisi yang memaksa dan menurutku tidak mendapatkan
keuntungan bagi yang dipaksa, kenapa dijalankan?
Seperti
tradisi mencari istri di dekat rumah saja, sama desa. Aku kurang tau apa alasan
orang tua mengatakan hal seperti itu. Agar mudah dan tidak mengeluarkan biaya
banyak mungkin. Maklum masalah biaya memang hal yang sensitive bagi orang desa.
Nah, kadang aku juga mikir dengan manusia-manusia desa ini. Ketika mereka para
pemuda sudah tidak melanjutkan pendidikannya mereka memilih untuk bekerja.
Jangka bekerja ini gak sampek lima tahun sudah memutuskan untuk menikah.
Menurutku si, kenapa cepet-cepet? Kalian
masih muda 21, 22, 23. Oh my god. Aku
ketika melihat temanku yang menikah muda seperti itu berpikir “kalian punya
uang berapa untuk menanggung biaya pernikahan dan semua keperluan?”, “apa yg
kalian dapetin kalau nikah muda?”, mungkin akan beda erita kalau calon kalian
kaya. Kalau engga? asli ga salah guys, Islam juga gak melarang nikah muda.
Tapi, ketika aku disuruh nikah muda, aku akan menolak halus. Alasanku, masih
banyak target yang harus dikejar, dan masih harus ngumpulin modal. Pemikiran
orang desa adalah ketika mereka nikah mereka minta uang orang tua. Dan orang
tua ini mencatat siapa saja yng pernah ngundangin mereka dan akan ngundangin
balik dengan hharapan dapat balik modal. Sementara aku berkaca dari kaka
sepupuku, biaya pernikahan ditanggung oleh mereka sendiri. Dan aku berencana
untuk tidak menggunakan uang orangtuaku untuk menikah. Aku ingin mandiri.
Salah
satu pikiran orang desa yang tidak aku sukai adalah ketika mereka iri dan
suudzon sama tetangganya. Kenapa mereka harus berpikiran semacam itu? Lagi-lagi
karena mereka orang desa dan tidak merasa bersyukur. Hidup di desa lama-lama
kadang membuatku bercita-cita untuk tidak hidup didesa lagi. Sudahlah. Aku ke
kota saja. Di kota, manusia lebih produktif, walaupun tidak mengenal tetangga.
Yang lebih penting, cara berpikir orang kota sudah sedikit mending lah daripada
orang desa. Sebenarnya bukan desa atau kotanya yang salah tapi pemikirannya
maju atau tidaknya.
Cita-cita
keluarga ku kedepan sederhana. Cukup hanya dengan aku bisa ngemong bayiku
sendiri tanpa minta bantuan orang tua, hidup mandiri, tidak meminta harta orang
tua, dan sudah ckup rasanya bagi orang tua ku untuk ikut urusanku bersama keluargaku.
Intinya, aku tidak ingin keluargaku, ibukku juga ikut mengurunya. Karena memang
orang desa biasannya anak ditanggung sama neneknya bukan sama ibuknya. Sekali
lagi, karena mereka terburu-buru nikah dan berada di desa. Entah kenapa, hidup
di desa ini memang sedikit absurd setelah
aku sudah melihat bandingan di kota.
#30DWC #30DWCJilid16 #day7
#30DWC #30DWCJilid16 #day7
Komentar
Posting Komentar