Terbiasa, Istiqomah Kemudian

Saat itu, aku memilih bangku sekolah madrasah daripada sekolah dasar. Orang tua menyuruhku untuk masuk dunia madrasah yang memiliki nilai Islam lebih dibanding dengan sekolah dasar pada umumnya. Ana kecil menurut saja akan keputusan itu. Aku hanya berjilbab saat aku berangkat sekolah dan berangkat ngaji sore. Hanya itu aku mengenakan jilbabku. Selebihnya, aku lebih suka menggerai rambutku yang panjang sebahu dan memakai aksesoris rambut. Aku suka mengikat rambutku dengan berbagai macam model rambut. Kakak sepupu perempuanku sendiri juga tidak berjilbab hingga ia mendapat kerja. Ketika ia hendak menikah ia baru memutuskan untuk berjilbab. Tidak bisa dikatakan telat jika dibandingkan denganku yang telah mengenakan jilbab sejak aku kecil. Itu hanya soal kenyamanan dan mungkin panggilan Tuhan. 

Hingga aku ingin masuk sekolah umum saja dibandingkan dengan sekolah madrasah. Aku ingin tidak berjilbab saat aku masih kecil. Aku ingin pergi ke sekolah dengan menggerai rambutku. Tapi, itu berbeda ketika aku sudah duduk di kelas enam. Kelas transisi menurutku saat itu. Banyak alumni madrasah ibtidaiyah ku yang akhirnya tidak berjilbab dan datang ke sekolah hanya untuk sekedar meramaikan acara tertentu saja. Pramuka misalnya. Alumni datang dengan tidak menggunakan jilbab dan mengikat rambut mereka. aku yang masih kelas enam menganggap hal itu tidak sopan. Bagaimana mungkin bertamu di lingkungan madrasah yang jelas siswanya adalah homogen, tidak mengenakan jilbab? Ketika aku membandingkan dengan alumni yang berjilbab, aku lebih suka dengan mereka ketimbang alumni yang tidak berjilbab. Pikiran-pikiran untuk tidak lepas jilbab itu semakin dikuatkan dengan perkataan wali kelasku. Bu Kusmiati namanya. Guru tersayangku kala itu. Beliau menasihati kami para anak didiknya untuk tidak lepas jilbab saat menginjakkan kaki di bangku Sekolah Menengah Pertama nanti. 

Doktrin-doktrin semacam itulah yang kemudian aku memutuskan untuk tidak melepas jilbabku saat aku duduk di bangku SMP. Aku lagi-lagi memilih sekolah yang homogen. Aku bersekolah di Madrasah Tsanawiyah yang notabene sebagian besar siswanya adalah Islam. Hal itu aku alami terus hingga aku berada sekarang. Aku selalu berada dalam satu lingkungan yang homogen. Lingkungan madrasah, lingkungan universitas islam. Padahal, aku dulu bisa saja memilih SMP atau SMA sebagai sekolahku. Tapi, ujung-ujungnya aku selalu berada di lingkungan yang sama. 

Aku sudah terdidik dengan doktrin agama yang bisa dibilang kuat. Aku lahir di lingkungan muslim. Aku lahir dari keturunan keluarga yang bisa dibilang adalah keluarga mpunnya agama dalam masyarakat. Ya, keluarga ayahku adalah pemuka agama, adalah orang yang dipandang baik beserta keturunannya. Kebanyakan dari mereka adalah pendiri pondok, kyai dalam suatu desa, ketua acara muslimat, tempat berobat khas muslim, dan saudara-saudaraku bersekolah di pondok pesantren. 

Rasanya malu jika aku melepas jilbab barang hanya untuk membeli makanan di toko sebelah rumah. Sudah menjadi kebiasaan dariku untuk selalu menutup kepala. Ya, walaupun jilbab yang aku kenakan jauh dari kata syar’i, yang jelas aku selalu memakainya selama hampir aku bersekolah. Hal ini adalah kesyukuran bagiku. Karena dengan terbiasanya aku mengenakan jilbab hingga menumbuhkan malu ini membuatku istiqomah untuk selalu berjilbab. Mungkin, ada beberapa teman yang masih pakai lepas pakai lepas kerudungnya. Ya, itu sebuah proses. Proses dimana letak kebutuhan menentukan kenyamanan. 

#30DWC  #30DWCJilid16 #Day8

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Tahu Bahasa Jawa, Tidak Berarti Bukan Jawa

Kualitas Jempolan, Yuk Simak Keunggulan Iphone 6 Yang Wajib Kamu Tahu

Tulisan Untuk Pacarku