Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Throwback ~•

Minggu pertama aku masuk kuliah. Hari kamis saat mata kuliah pemikiran politik islam pak dosen  nanya... Dosen : "Mbak, apa visi dan misi hidupmu?" Aku.    : "Bermanfaat bgi org lain." Dosen : "Apa yg membuatmu ingin bermanfaat?" Aku : "Ya saya hidup sekali, jdi bermnafaat bagi org lain hal yg hrus saya lakukan" Dosen : "Kalo kamu ndak hidup sekali?" Aku : "Siapa yg menjamin saya hidup dua kali?" Dosen : "Nah siapa yg menjamin km hidup sekali?" Aku : "tpi reankarnasi ndak mungkin ada pak" Dosen : "siapa yg bilang reinkarnasi? Kemungkinan kesempatan hidup dua kali itu mungkin,..." Tmn pojok : "mati suri" Dosen : bisa jadi.. (lalu melanjutkan penjeasan ttg visi dan misi lagi) "Karena tidak ada jaminan apakah saya akan mati suri ato tidak, dan masih dikasi kesempatan bernafas hingga sekarang maka sya ingin bermanfaat pak",batinku setelah beberapa menit. Terima...

Malu Berucap Tak Mampu Mengucap

Hari beranjak sore. Matahari mulai meredupkan sinarnya hendak beristirahat. Seperti biasanya, setiap menjelang maghrib, Sudir berjalan seorang diri menuju mushala. Seseorang memberi salam dari belakang. ‘Assalamualaikum pakde [1] ’ sapa seseorang dari belakang. Sudir menolehkan kepala dan mencari sumber suara. Melihat siapa yang menyapa, Sudir tersenyum. ‘ Waalaikumsalam.   Kapan datang?’ sambut Sudir. Topan langsung menyalimi Sudir yang masih memiliki ikatan saudara itu. ‘Tadi malam’ jawab Topan. Sudir dan Topan melanjutkan langkahnya menuju mushala. ‘Kuliah lancar?’ tanya Sudir basa basi. ‘Lancar, alhamdulillah. Zen belum pulang pakde ?’ tanya Topan. ‘Belum.’ Jawab Sudir singkat. ‘Oh. Mungkin Zen sibuk mengurus tugasnya pakde .’ Timpal Topan menghibur. Sudir tahu, anaknya memang jarang pulang. Tidak seperti Topan yang sering terlihat pulang kampung setiap bulannya. Zen anak laki-laki semata wayangnya, selalu sibuk dengan tugas kuliahnya. Zen dan Topan   kuli...

Cukup Adil

            Malang. Hari ini hujan. Rintik-rintik bersama aku yang kelabu. Kudongakkan wajahku. Meanantang hujan yang jatuh. Bulir-bulir air jatuh di atas mukaku.ini bukan pertama kali hujan, ini sudah bulan hujan. Aku tidak terlalu suka hujan. Meski sebuah anugerah. Segera aku berlari ke tempat yang teduh. Kurapatkan diriku dibawah bangunan reyot milik penjual di pinggir jalan. Baru saja aku menaruh motorku di bengkel dan aku berencana mampir ke kos teman tak jauh dari bengkel sambil menunggu.                Awalnya aku hanya beriri di warung reyot itu. Merasa tak enak, akupun duduk sambil memesan teh hangat. Pesananku datang. Kutatap ibuk itu mengucap terima kasih. Kuseruput the hangat ini. Rasa panas langsung melewati tenggotokanku. Aku terdiam. Lantas, akumengingat sesuatu. Kuambil handphone ku di tas dan ku buka ruang chat. Ku cari nama “Mia”. Aha! Dapat. Kumainkan...

Terbiasa, Istiqomah Kemudian

Saat itu, aku memilih bangku sekolah madrasah daripada sekolah dasar. Orang tua menyuruhku untuk masuk dunia madrasah yang memiliki nilai Islam lebih dibanding dengan sekolah dasar pada umumnya. Ana kecil menurut saja akan keputusan itu. Aku hanya berjilbab saat aku berangkat sekolah dan berangkat ngaji sore. Hanya itu aku mengenakan jilbabku. Selebihnya, aku lebih suka menggerai rambutku yang panjang sebahu dan memakai aksesoris rambut. Aku suka mengikat rambutku dengan berbagai macam model rambut. Kakak sepupu perempuanku sendiri juga tidak berjilbab hingga ia mendapat kerja. Ketika ia hendak menikah ia baru memutuskan untuk berjilbab. Tidak bisa dikatakan telat jika dibandingkan denganku yang telah mengenakan jilbab sejak aku kecil. Itu hanya soal kenyamanan dan mungkin panggilan Tuhan.  Hingga aku ingin masuk sekolah umum saja dibandingkan dengan sekolah madrasah. Aku ingin tidak berjilbab saat aku masih kecil. Aku ingin pergi ke sekolah dengan menggerai rambutku. Tapi, itu...

Orang Desa atau Orang Kota?

Katak dalam tempurung kalau boleh dibilang hidupku selama 19 tahun. Lahir, tumbuh, besar dan berkembang di sebuah desa yang sebenarnya ga terpencil amat sih. Butuh waktu 15 menit menggunakan motor untuk mencapai kota. Hidup sebagai orang desa tak lantas membuatku untuk tidak memiliki tujuan. Impian dan cita-cita yang tinggi sudah kukenal sejak aku berumur 12 tahun. Kelas 6 MI saat aku membaca Novel Negeri 5 Menara yag mengajarkan tentang mimpi. Kalau boleh dibilang aku terinspirasi dari Bang Fuadi. Berharap suatu saat bisa menyamai beliau untuk menulis novel atau berkeliling dunia.   Satu mimpiku terwujud. Katak dalam tempurung keluar setelah 19 tahun terkurung. Aku pergi merantau untuk bersekolah ke Malang. Belajar seperti sekarang ini. Berproses, terbentur, dan akhirnya terbentuk. Kembali ke desa setelah belajar di malang hampir 2 tahun mengajarkanku betapa beda sekali pemikiran orang kota dengan orang desa.    Aku tidak mendeskriminasikan orang desa sebagai kaum b...

Bukan Menyesal Aku Menyukaimu

‘Terus kamu maunnya gimana?’ ‘Jujur ya.. kan katamu honestly is beautiful. Katamu kita udah tua masak mau yang gak seriusan? Jadi, ya aku ikhtiarin kamu walaupun nanti ada rasa bosan.. ya kali masak nyerah cuma gara – gara bosan, gak kece lah ya’                Dua jam. Tiga jam. Lima jam. Sepuluh jam. Diam. Tak ada balasan darinnya. Hubungan kami menggantung. Cuma sekedar teman rasa pacar. Sebagai cewek yang tidak suka akan ketidakpastian, aku membenci status kita. Dia datang lalu pergi sekenanya. Ini hati bukan halte.   Tiga hari setelah aku mengirim chat ku, marah. Ya, aku marah. Dengan percaya diri dia tak membalas chat ku. Chat terakhir ku adalah sebuah pengakuan. Aku tak pernah mengaku suka pada cowok selain dia.              Last seen today 8:54 AM              ‘Arrgghh.. kemana se ni anak?’ ...